FOMO dan Media Sosial: Kenapa Kita Takut Tertinggal?

Di era digital seperti sekarang, kita hidup dalam dunia yang terkoneksi tanpa henti. Setiap hari, jutaan unggahan membanjiri linimasa media sosial: foto liburan ke luar negeri, pencapaian akademik, promosi karier, hingga aktivitas sehari-hari yang tampak menyenangkan. Di balik layar, muncul fenomena psikologis yang semakin sering dibicarakan: FOMO dan Media Sosial: Kenapa Kita Takut Tertinggal? atau tidak ikut serta dalam pengalaman yang dirasakan orang lain.

FOMO bukanlah hal baru, namun kemunculannya semakin mencolok sejak media sosial menjadi bagian integral dari kehidupan. Sebelum ada platform seperti Instagram, TikTok, atau Twitter, perbandingan sosial terbatas pada lingkup sekitar. Kini, kita membandingkan hidup kita dengan ribuan orang dalam sekali gulir layar.

Apa Itu FOMO?

FOMO adalah perasaan gelisah atau cemas karena merasa tertinggal dari tren, momen sosial, atau kesempatan tertentu yang terlihat menarik. Perasaan ini sering muncul saat melihat unggahan teman atau orang lain yang tampaknya sedang menjalani hidup yang lebih “seru”, “sukses”, atau “berwarna”.

Fenomena ini bisa membuat seseorang merasa hidupnya kurang berarti, membosankan, atau bahkan gagal. Padahal, apa yang kita lihat di media sosial seringkali hanya potongan terbaik dari hidup seseorang—highlight reel, bukan kenyataan utuh.

Media Sosial dan Perbandingan Sosial

Media sosial memperkuat perbandingan sosial. Kita tidak hanya melihat pencapaian orang lain, tapi juga menilai diri sendiri berdasarkan standar yang dibentuk oleh unggahan tersebut. Saat seseorang memposting tentang liburan ke tempat eksotis, pencapaian karier, atau hubungan romantis yang tampaknya sempurna, mudah bagi kita untuk merasa iri atau tidak puas dengan hidup kita sendiri.

Algoritma media sosial juga memperparah kondisi ini. Konten yang paling menarik dan emosional sering kali mendapat lebih banyak perhatian. Akibatnya, kita lebih sering melihat unggahan yang menonjolkan keberhasilan, kebahagiaan, atau kemewahan—membuat persepsi kita tentang “normal” jadi tidak realistis.

Dampak FOMO terhadap Kesehatan Mental

FOMO tidak hanya mengganggu secara emosional, tapi juga bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Rasa cemas, rendah diri, bahkan depresi bisa muncul akibat tekanan untuk “ikut serta” atau menjadi seperti orang lain. Dalam jangka panjang, FOMO dapat menyebabkan stres kronis dan ketidakpuasan terhadap hidup.

Ironisnya, semakin kita merasa FOMO, semakin sering kita memeriksa media sosial untuk “tetap terhubung”. Ini menciptakan lingkaran setan: kita melihat lebih banyak konten yang memicu FOMO, lalu merasa makin tertinggal, dan akhirnya makin sulit untuk lepas dari media sosial.

Bagaimana Mengatasi FOMO?

Menghadapi FOMO bukan berarti harus berhenti menggunakan media sosial sama sekali, tapi kita bisa mengubah cara kita menggunakannya. Berikut beberapa cara yang bisa membantu:

  1. Sadari bahwa media sosial bukan cerminan realita. Kebanyakan orang hanya membagikan momen terbaik mereka, bukan keseluruhan hidupnya.

  2. Kurangi waktu di media sosial. Membatasi waktu penggunaan aplikasi bisa membantu menjaga kesehatan mental dan mengurangi kecemasan.

  3. Fokus pada kehidupan nyata. Menghargai hal-hal kecil dalam hidup, mempererat hubungan di dunia nyata, dan menjalani aktivitas yang membuat kita bahagia bisa mengurangi dampak FOMO.

  4. Latih rasa syukur. Dengan rutin mencatat hal-hal yang kita syukuri, kita bisa lebih menghargai hidup kita sendiri tanpa terus membandingkan dengan orang lain.

  5. Ikuti akun yang memberi inspirasi, bukan tekanan. Kurasi timeline-mu agar lebih positif dan sesuai dengan nilai yang kamu anut.

Baca juga: Tips Algoritma Instagram 2025 Cara Naikkan Engagement!

FOMO adalah fenomena yang sangat manusiawi. Kita semua, pada titik tertentu, pernah merasa tertinggal atau iri pada kehidupan orang lain. Namun, dengan kesadaran dan pengelolaan yang tepat, kita bisa mengubah cara kita berinteraksi dengan media sosial. Alih-alih menjadi sumber tekanan, media sosial bisa menjadi alat untuk terhubung, belajar, dan tumbuh—tanpa harus terus merasa takut tertinggal.